Harta Karun Cerita Panji

Cerita Panji adalah harta karun terpendam yang dimiliki Jawa Timur. Lahir di Kediri, berkembang sejak jaman Majapahit, menyebar ke banyak daerah hingga mancanegara, dan beredar dalam berbagai cerita rakyat. Cerita Panji bukan sekadar cerita. Ini adalah pusaka yang tak ternilai harganya. Sudah saatnya kita menyelamatkan, memelihara, mengembangkannya sebagai kontribusi positif pembangunan budaya bangsa. Cerita Panji sebagai ikon Jatim, mengapa tidak?
——————————
Pada dasarnya, Cerita Panji adalah sekumpulan cerita pada masa Hindu-Budha di Jawa yang berkisah seputar kisah asmara Panji Asmorobangun dan Puteri Candrakirana (Dewi Sekartaji) yang penuh dengan petualangan sampai akhirnya memerintah di Kerajaan Kadiri. Tetapi ternyata, ditemukan banyak potensi budaya yang luar biasa dan dapat dikembangkan menjadi bahan ajar pendidikan formal dan nonformal, bahkan sebagai bahan baku industri budaya.

Temuan itu sempat mengemuka ketika dilangsungkan Pasamuan Budaya Panji II di PPLH Seloliman, Trawas, 18 – 20 November yang lalu. Acara ini diselenggarakan bersama oleh PPLH Seloliman, Dewan Kesenian Jatim, Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia (JKTI), Padepokan Lemah Putih Surakarta, Yayasan Kaliandra Sejati, dan sejumlah pihak lainnya.

Cerita Panji adalah cerita Jawa asli yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah nusantara (Bali, Sunda, Lombok, Kalimantan, Palembang, Melayu) serta di berbagai negara di daratan Asia Tenggara. Hal ini merupakan aspek penting yang perlu disosialisasikan sebagai alternatif cerita wayang yang selama ini hanya menjadi monopoli Mahabarata dan Ramayana yang datang dari India.

Beberapa kesenian tradisional yang selama ini menggunakan cerita Panji misalnya Wayang Beber (Malang), Wayang Topeng (Pacitan), wayang golek Kediri, wayang thengul (Bojonegoro), wayang krucil (Nganjuk), Legong Kraton (Lasem), Lutung Kasarung (Jabar) dan banyak kesenian di Bali, Kalimantan, Kamboja dan sebagainya. Sementara yang berupa fisik, terpahat dalam relief di beberapa candi (punden berundak) di lereng Gunung Penanggungan, Candi Penataran dan peninggalan purbakala di lereng gunung Arjuno. Bahkan, patung Panji pernah ditemukan di Candi Selokelir di lereng Penanggungan.
Banyak yang terperangah, bahwa Panji ternyata bukan sekadar dongeng menjelang tidur. Panji adalah sosok sejarah sekaligus legenda. Sosok Panji ternyata sudah amat sangat lama terpatri di lereng Gunung Penanggungan, Arjuno dan juga tertatah di Candi Penataran. Cerita-cerita terkait Panji juga banyak mengajarkan kearifan lokal dalam menjaga kelestarian alam.

Simaklah penuturan Agus Bimo, seorang petani dari Klaten yang hadir sebagai salah satu narasumber acara ini. Lahir di tanah tandus, Wonogiri, sejak kecil diasuh nenek, pernah belajar sastra Jawa UNS, sering dengar dongeng cerita Panji. Timun Emas, Ande-ande Lumut, Enthit, yang semua cerita itu induknya adalah cerita Panji. Agus masih sangat terkesan dengan dongeng masa kecil itu, sebab baginya bahasa tutur sebagaimana disampaikan melalui dongeng itu memang membawa imajinasi. Karena itu sejak kecil dia membayangkan seperti apa Panji Asmara Bangun, Sekartaji, Rondo Dadapan, Buto Ijo dan sebagainya. Imajinasi itu melewati bentuk visual atau jagat kasat mata, yang membawa lamunan yang jauh dan tinggi. Dan ternyata, “warga Wonogiri yang tandus banyak yang jadi migran atau TKI dan TKW itu, salah satu sebabnya karena dibakar oleh cerita dongeng Panji,” tuturnya.

Ketika kemudian Agus Bimo dewasa, dia seolah merasa terpanggil untuk “merealisasi” imajinasinya dari masa kecil itu. Salah satu dongeng Panji terkait pertanian misalnya Enthit. Di situ ada tembang, “sing nandur timun mentheg-mentheg iki sapa….. enthiiit.” Bukan hanya timun, tapi cabe, kacang panjang, dan berbagai macam sayuran serta hasil bumi lainnya. Dongeng itu bahkan kemudian dikembangkan menjadi lagu Jawa.

Bagi Agus, cerita semacam Enthit itu memberikan inspirasi, mengapa timun itu dapat ditanam sampai mentheg-mentheg (gemuk, menyenangkan). Mengapa berbagai sayuran itu tumbuh subur dan menyehatkan. Bagaimana petani pada masa itu memperlakukan lahannya. Bagaimana cara mereka bercocok tanam. Prediksi Agus, tentu pada masa itu tidak ada pupuk kimia, tak ada pestisida buatan pabrik, memanfaatkan limbah dalam proses daur ulang alami. Semuanya seolah-olah diserahkan pada kekuasaan alam belaka.

Maka seorang Agus menanam 13 jenis sayuran, di atas lahan 800 meter persegi, setengahnya berupa tanaman padi. Semuanya dilakukan dengan cara organik. Tidak ada tendensi cari uang. Latar belakangnya karena keprihatinan melihat kehidupan masyarakat sekitar sangat kurang sejahtera. Setiap saat ke rumahsakit, selalu ditemui banyak orang sakit. Lantas uncul pertanyaan, kalau dibandingkan dengan masa kecil, mengapa kekuatan tubuh manusia sekarang cenderung merosot? “Mbah-mbah saya baru meninggal umur 106 tahun, meski memorinya kalah, namun fisiknya masih kuat,” ujar Agus Bimo.
Agus Bimo, menyebutkan konsep pertanian dalam Budaya Panji adalah soal tantra atau kesuburan. “Jadi bagaimana memperlakukan tanah (lahan) seperti menyayangi istri dan ini hubungannya dengan konservasi alam. Budaya Panji tidak berhenti pada aspek romantika asmara,” ujarnya.

Ia menambahkan, pada zaman dahulu konsep pertanian organik berdasarkan kearifan Budaya Panji disebarluaskan dengan mudah lewat dongeng yang diwariskan lewat bahasa tutur. Peran dongeng pada masyarakat pertanian itu terbukti sangat bagus karena memperkenalkan cara-cara mulai dari memilih benih, mengolah lahan, hingga produksi pangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip organik.
“Dulu ya saya juga sekadar tahu itu sebagai dongeng saja, ternyata belakangan saya baru tahu dari Lydia (Lydia Kieven, salah seorang pakar seni Jawa kuno asal Cologne, Jerman) bahwa semua itu berintikan Budaya Panji,” ujar Agus. Intinya, pengaruh Budaya Panji dalam sistem pertanian Nusantara yang mengedepankan sistem organik perlu dihidupkan kembali untuk menjamin kemandirian di sektor tersebut.

Mengenal Figur Panji


Siapakah sesungguhnya Panji? Masih banyak yang beranggapan bahwa Panji adalah sosok fiktif yang hanya ada di cerita dongeng. Citra ini memang tak lepas dari kemasan budaya tutur Panji yang lebih berupa “Dongeng yang Disejarahkan” ketimbang “Sejarah yang Didongengkan”. Bila dirunut ke belakang, barangkali ini tak lepas dari pengaruh kekuasaan Majapahit ketika cerita heroik soal “pahlawan Kadiri” ini lahir.

Dalam bukunya, Prof. DR. CC. Berg (1928) menyebutkan, bahwa penyebaran cerita Panji dimulai adanya Kertanegara Raja Singasari mengadakan pamalayu, tahu 1277 M sampai kurang lebih tahun 1400 M. Dari sumber ini diketemukan Panji adalah pahlawan kebudayaan, sebagaimana tahun 1996 pernah dijadikan tema sentral Pekan Budaya Bali, karena cerita Panji dianggap paling banyak memberikan keteladanan membangun kebudayaan Indonesia.

Ki Ageng Sri Widadi dari Kasunyatan Jawi, dalam makalahnya yang tak dibacakan dalam pertemuan itu menulis, Panji adalah tokoh yang menggunakan kesenian untuk menundukkan lawan. Panji pandai bermain gamelan, juga penari yang piawai, sebagai dalang yang pintar mempesona penonton, bahkan berjasa menyusun nada-nada gamelan berlaras pelog.

Hal ini dikuatkan oleh Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang. Menurutnya, Panji adalah tokoh manusia biasa, yang merupakan Pangeran Jawa dan bukan pahlawan pendatang seperti Rama dan Pandawa. Panji adalah sosok yang piawai berolah seni, seorang Maecenas kesenian Jawa masa lalu. Panji acap diceritakan sebagai pemain musik, penari, pemain drama (sendratari) dan penulis puisi. Panji adalah tokoh teladan masa lampau, dan perilakunya merupakan teladan arif dalam mengembangkan lingkungan dengan cara-cara yang sarat dengan nilai ekologis. Keteladanan Panji sebagai seseorang yang dipredikati sebagai “pahlawan budaya” masa lalu (masa Hindu-Budha) itulah kiranya yang perlu diupayakan untuk dapat ditransformasikan bagi pengembangan kesenian lokal dan pertanian serta pengelolaan lingkungan hidup pada masa kini maupun mendatang.

Bahkan, menurut Dwi Cahyono, Kapanjian tidak hanya sekadar merupakan fenomena kesenian, namun sekaligus berwujud sebagai fenomena sosial, pemerintahan, kemiliteran, religi dan fenomena lainnya. Oleh karena itu cukup alasan untuk menyatakan bahwa Kapanjian merupakan suatu fenomena budaya. Tradisi Panji adalah Tradisi Budaya, karena terbukti budaya Panji berkelanjutan dan mengalami diversifikasi bentuk dan fungsi hingga lintas masa dan sekaligus lintas area.

Mengelola Harta Karun


Lantas, apa yang dapat dilakukan dengan harta karun yang melimpah ini? Narsen Afatara, seorang perupa dan juga dosen di Universitas Sebelas Maret Surakarta, sudah membuat langkah kongkrit dengan mengabadikan dan mengeksplorasi cerita Panji. Yang dibidiknya adalah Wayang Beber, sebagai salah satu seni pertunjukan yang berbasis Cerita Panji.
Wayang Beber yang kini hanya ada di Pacitan itu, hanya tinggal satu lembar saja, sudah rapuh, disimpan ahli warisnya secara berpindah-pindah. Maka Narsen yang juga pelukis itu membuat tiruannya, bahkan mengembangkannya dalam versi komik. ini dilakukan supaya lebih menarik minat anak-anak muda. Kalau hanya reproduksi, sudah ada pelukis yang melakukannya. Salah satunya adalah Musyafiq.
Tak berhenti di situ, Narsen kemudian mengembangkannya menjadi karya video animasi berupa cerita Panji. Menurutnya, ketika ditayangkan di sekolah-sekolah (SMP dan SMA) di Solo, ternyata para pelajar itu menyambutnya sangat antusias. Dalam perkembangan berikutnya, bisa jadi tokoh-tokoh dalam cerita Panji itu digambarkan figurnya menjadi bahan baku industry budaya. Bisa buat kaos, poster, stiker, dan beragam karya senirupa. Termasuk pula, membuat produk masal topeng Panji sebagai elemen dekorasi.
Ketika menuturkan profil Panji ini, Narsen mencoba menyodorkan fakta visual yang menarik. Bahwa ternyata lingkaran matanya menonjol ke luar dari bidang wajahnya. Ini mengingatkan bentuk visual kubistik milik Picasso. Jadi, siapa meniru siapa? Jangan-jangan malah Picasso yang mencontek wajah Panji.

Sebagaimana hasil rekomendasi Pasamuan Budaya Panji II itu, maka memang perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:


Diperlukan kajian mendalam mengenai Cerita Panji dan segala aspeknya (khususnya kesenian dan lingkungan hidup) untuk dapat dideskripsikan, dan didokumentasikan dalam program Konservasi Budaya Panji. Juga eksplorasi terhadap berbagai cerita Panji terkait dengan lingkungan hidup sebagai bentuk keteladanan menjalankan pertanian ramah lingkungan dan menghormati keselarasan dengan alam.
Diperlukan sosialisasi dan publikasi secara meluas bahwa Jawa Timur khususnya, memiliki cerita asli yang dapat menjadi alternatif cerita wayang yang selama ini didominasi cerita impor dari India, berupa Mahabarata dan Ramayana. Bahwa cerita Panji juga dapat dijadikan pemandu arah dalam pengembangan kesenian.
Dihimbau kepada kalangan pendidik untuk menjadikan Cerita Panji sebagai bahan baku ajar (media pendidikan) mengenai sejarah, sastra, seni pertunjukan, biologi dan lingkungan dalam upaya menghargai potensi budaya lokal yang dimiliki Jawa Timur.
Diserukan kepada pemerintah untuk lebih serius memelihara berbagai situs terkait budaya Panji, dan memberikan perhatian dan pembinaan yang memadai bagi jenis-jenis kesenian tradisi yang membawakan Cerita Panji, serta kepada para pelaku yang sudah, sedang dan akan menjadikan Cerita Panji sebagai potensi budaya ataupun local genius Jawa Timur.
Diserukan kepada kalangan pelaku industri kreatif untuk mengeksplorasi Cerita Panji dengan cara menerbitkan kembali cerita Panji, serta juga dalam berbagai bentuk karya berupa seni rupa seperti grafis, komik, seni patung dan pahat, seni video, cenderamata, sebagai upaya counter culture terhadap budaya impor. Jangan sampai cerita Panji populer di negeri orang sementara di negeri sendiri diabaikan. Profesor Dr. Waridi M. Hum, memberikan contoh hikayat anak bangsa dari Makasar, Sulawesi Selatan, I La Galigo , yang justru masyhur di luar negeri namun tak banyak masyarakat di Indonesia yang mengapresiasinya.

0 komentar: