Rahasia Kraton Sri Aji Jayabaya

Kraton atau pusat istana kerajaan Kediri dengan rajanya yang termasyhur karena terbukti kebenaran ramalannya, Sri Aji Jayabaya, merupakan misteri karena lokasinya belum ditemukan siapapun. Adapun lokasi pamuksan dan makam beliau telah diketahui umum berada di daerah Mamenang, di sebelah timur Kediri.  Demikian pula menurut pengetahuan umum kraton Kediri semasa pemerintahan Jayabaya di sekitar wilayah kaki Gunung Kelud dianggap telah musnah terlanda lahar letusan gunung itu.
      Sebagai gambaran masa kini di pusat kota Kediri di sisi timur sungai Brantas terdapat sebuah pasar tradisional, Setono Bethek, istana bambu. Ada lagi Setono Gedhong, istana batu. Tempat-tempat tersebut benarkah istana kerajaan Kediri di masa silam? Atau sekadar makam para ulama penyebar agama Islam belaka? Ada sebuah nama lain di tepi Barat sungai Brantas yang menarik: Bandar Lor, Bandar Kidul. Tampaknya memang di masa silam sebuah pelabuhan kuno?
    Berabad-abad sosok menarik Sri Aji Jayabaya dengan ramalan-ramalannya yang sebagian orang, terutama penduduk di pulau Jawa percaya dan menganggap bahwa ramalan itu telah terbukti kebenarannya, misalnya sosok kepemimpinan Presiden Sukarno telah diramalkan beliau sebagai seorang putra dari ibu berasal dari pulau Dewata; ramalan lain lagi masuknya balatentara Dai Nippon yang seumur jagung itu diramalkan 900 tahun silam sebagai si kate cebol kepalang, dan seterusnya, maka kami ingin menambahi sekadar wawasan guna mengarahkan pembaca dan pemerhati sejarah Kediri mengenai kemungkinan adanya keraton Kediri di lokasi lain yang masih merupakan misteri.

Pada kira-kira 1135 maraklah raja Kediri kelak kemudian menjadi raja besar Nusantara: Joyoboyo, Jayabaya, atau Jayabhaya. Kekuasaannya berpusat di Kediri, Jatim, dan wilayah di bawah pengaruh kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Jawa (Java) ditambah Jambi, Tidore, dan Kalimantan.
    Kediri, kini yang kita kenal sebagai kotamadya, dulu merupakan pusat pemerintahan sebuah kerajaan maritim Jawa yang berhasil mempersatukan sebagian besar wilayah Nusantara, selalu mendapat serbuan dari berbagai pasukan asing: pada 1007 Sriwijaya menyerbu kerajaan Medang Kamulan di Kediri untuk menggulingkan prabu Dharmawangsa sebagai balasan atas serangan Medang terhadap kerajaan Sriwijaya pada 990, Arok mengalahkan pasukan Kediri di Ganter 1222 yakni di sebuah desa di sekitar daerah Pujon, Malang, selanjutnya pada 1292 pasukan Mongol Kublai Khan menyerbu dengan 1000 kapal yang berlayar langsung dari Tiongkok untuk membalas dendam pada Sri Krtanegara. Apa lacur? Oleh mantu raja Jawa (Krtanegara) tersebut, Raden Wijaya, pasukan Mongol digiring dipersilahkan menggempur kraton Kediri Jayakatwang, hingga musnah. Dan pada 1527 Brawijaya terakhir dari kerajaan Daha (Kediri) digempur oleh pasukan Mataram Islam Trenggono. Terakhir pejuang nasional Trunojoyo berhasil dikalahkan oleh Belanda di Kediri.
    Pada masa pemerintahan Jayabaya kekuatan militer kerajaan maritim Kediri terletak pada angkatan lautnya yang kuat pada masanya hingga mampu menjaga wilayah kerajaan di seberang pulau yang jauh dari pusat kekuasaan di pedalaman Jawa bagian timur itu.
    Kota Kediri yang kita kenal sekarang dibelah oleh sungai Brantas, sungai itu lebarnya kurang lebih 1000 meter. Di masa silam, kapal-kapal perang dan dagang diperkirakan bisa melayari sungai Brantas sepanjang aliran mulai dari pelabuhan laut di Surabaya terus masuk ke pedalaman hingga merapat pusat kota Kediri, sekarang lokasi pelabuhan di tepi sungai di Kediri itu diberi nama pelabuhan Jayabaya, lokasinya di daerah yang kini bernama Bandar Lor.
   Satu kilometer ke barat sejak pelabuhan Bandar atau pelabuhan Jayabaya tersebut terbentang jalan lurus menuju bukit Klotok (arti harfiahnya: kolo thok, banyak kolo, banyak penyakit).
   Sebuah prasasti batu raksasa masih menjadi misteri asal-usulnya, diperkirakan dibangun di masa jaman keemasan kerajaan Kediri, yaitu era Jayabaya. Prasasti berbentuk goa berukuran 3 x 10 meter itu diberi nama Mangleng (artinya museum). Bangunan goa Mangleng atau Selomangleng, yang juga disebut museum Jayabaya yang didirikan sekitar tahun 1150-an pada masa Jayabaya itu letaknya cukup terlindung berada di antara bukit-bukit. Di sebelah depan (50 meter) adalah bukit Mas Kumambang yang menurut penduduk setempat terkenal dengan legenda maling sakti. Maling sakti yang hidup di masa kolonial Belanda itu bernama Ki Boncolono bersama dua sahabatnya Tumenggung Poncolono dan Tumenggung Mojoroto. Kuburan ketiganya berada di puncak bukit Mas Kumambang. Pemkot Kediri telah membangun tangga cor menuju puncak Mas Kumambang.
     Mengapa cuma membangun sebuah goa batu alam dibandingkan tigaratus tahun sebelum itu telah berdiri Candi Borobudur yang megah di Jawa Tengah? 
    Diperkirakan Goa Selomangleng merupakan bagian dari bukit Mas Kumambang (emas terapung), akan tetapi kemudian dipisahkan oleh jalan melingkari bukit tersebut, sehingga goa itu dapat dicapai dari dua jurusan.
    Jika kita mendaki bukit Klotok itu lurus saja tepat setelah menempuh sekitar dua kilometer ke arah puncak bagian tengah, kita dapat menjumpai dan menemukan petilasan Dewi Kilisuci, tepat di sisi air terjun kecil mengalir ke bawah, menjadi sungai kecil. Dewi Kilisuci merupakan salah seorang anak Prabu Erlangga atau Airlangga yang bertakhta di Kediri pada 1035.
    Petilasan Prabu Jayabaya yang dikenal sekarang di desa  Mamenang atau Pamenang kec. Pagu berada sekitar enam kilometer ke arah timur pusat kota Kediri berada di kawasan kaki gunung Kelud.
    Pusat kerajaan Kediri diperkirakan berada di sekitar Goa Selomangleng, ada sebuah daerah Boto Lengket yang sekarang dijadikan markas Brigif (Brigade Infantri) XVI. Di lokasi Boto Lengket dekat desa Bujel itu tanpa sengaja telah ditemukan batu-batu bata berukuran besar terpendam dalam tanah yang mungkin merupakan bekas bahan pondasi bangunan. Penemuan itu belum pernah dipublikasikan, karena masih bersifat penemuan pribadi. Diperkirakan tepat di markas Brigif XVI yang baru dibangun dalam dua tahun terakhir itulah letak pusat Kerajaan Kediri di masa pemerintahan Prabu Sri Aji Jayabaya.
    Mengapa Brigif XVI Kediri berada secara kebetulan dibangun di sana? Dari segi strategi perang, maka lokasi itu sangat strategis untuk medan pertahanan dari serangan musuh. Letaknya berada di antara bukit-bukit yang berhutan lebat di masa lalu, cocok untuk berlindung sementara bila diserang musuh. Dan untuk mengundurkan diri dari serangan besar-besaran dapat masuk hutan di kaki bukit Klotok. Ditambah lagi pada masa silam, dari puncak bukit Mas Kumambang seorang prajurit dapat mengawasi pelabuhan dan seluruh kota Kediri, sekaligus memberikan isyarat kedatangan musuh yang menyerang dari sungai atau dari daratan.
     Memang benar-benar strategis tempat itu dalam strategi perang kuno.
    Di sekitar daerah hipotesis kraton di bagian sebelah utara kawasan itu terdapat sumber mata air yang sampai hari ini tidak pernah kering sekalipun kemarau panjang.
    Demi efektifnya roda pemerintahan maka lokasi kraton itu tidak begitu jauh dari pelabuhan hipotesis Bandar. Tatkala tamu kehormatan kerajaan datang melalui sungai brantas, perjalanan tidak begitu jauh untuk sampai tujuan di kraton Kediri.
    Museum Airlangga di sisi selatan bukit Mas Kumambang yang dibangun oleh Pemkot Kota Kediri letaknya persis di seberang Museum Jayabaya yang dibangun Prabu Jayabaya, Goa Selomangleng. Goa Selomangleng selama ribuan tahun menjadi prototipe rumah-rumah penduduk di tanah Jawa. Ada senthong kiri, ada senthong kanan. Dan ada dua ruang tengah.  Dalam tradisi Jawa senthong tengah tidak boleh dihuni. Dan hanya dipergunakan untuk upacara tertentu atau meletakkan sesaji. 
    Goa Batu itu di dalamnya penuh dengan hiasan gambar-gambar dinding, dan pada senthong kanan (dilihat dari luar goa) terdapat tempat pemujaan patung prabu Airlangga penjelmaan Wishnu yang masih mulus belum dirusak tangan jahil. Pada pintu masuk dari depan sebelah kiri (terdapat dua "pintu" utama di bagian depan goa) ada penyambut berupa patung batu berbentuk garuda tumpangan Sang Prabu Erlangga yang mulai rusak oleh tangan jahil.
    Salah satu ramalan Jayabaya, Ronggowarsito, dan uga wangsit Siliwangi yakni menyangkut kemunculan ratu adil atau lebih populer dan salah kaprah disebut sebagai "satrio piningit" yang berwujud bocah angon bertempat tinggal di tepi sungai,  bukankah hingga sekarang  nama sungai tersebut masih misteri? "Satrio Piningit" itu tinggal di rumah tingkat tiga yang di depan rumahnya terdapat dua jenis pohon: Hanjuang, dan Handeuleum (konon pohon ini yang cuma setinggi setengah meter dan berbatang lunak ini serta berdaun merah hati tua ini di Jawa Barat digunakan sebagai tanaman obat, rebusan daun Handeuleum dipercaya dapat menyembuhkan wasir atau ambeien). Bisa jadi sungai yang dimaksud bila menurut ramalan itu sang ratu adil muncul dari sebelah timur Gunung Lawu, maka terdapat Sungai Madiun, dan jika sebelah timur Gunung Lawu yakni Gunung Wilis maka sebelah timurnya (daripada G. Wilis) terdapat Sungai Brantas, kedua sungai tersebut berada di wilayah Jawa Timur.
    Sebagai sebuah hipotesis saat ini samar-samar sang ratu adil dengan ciri-ciri tersebut memang sudah muncul bahkan mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di NKRI, akan tetapi belum berhasil karena terganjal undang-undang pemilihan calon presiden yang hanya dapat dilalui dari satu pintu, yakni melalui pencalonan yang diajukan oleh satu atau gabungan daripada partai politik. Diharapkan di masa depan diupayakan solusi yang lebih baik serta lebih adil lagi guna mendapatkan pemimpin yang terbaik di Nusantara, yakni dengan merevisi undang-undang yang terkait sistem pencalonan presiden sehingga memungkinkan tampilnya calon presiden dari wakil independen. Satrio piningit (yang dimaksud di sini Ratu Adil) itu mendapat dukungan kuat langsung maupun tak langsung dari sebuah perusahaan raksasa G2 yang berada di tepi Sungai Brantas kota Kediri, kantor pusatnya yang berlantai tiga tepat di seberang pelabuhan wisata Jayabaya. Satrio Piningit yang masih samar-samar itu berasal dari daerah yang lokasinya tepat simetris di tengah daripada ujung barat dan timur pulau Jawa.
    Saat ini permunculan samar-samar Satrio Piningit (yang dimaksud di sini ratu adil) yang kelak memimpin Nusantara memang belum menerima wahyu illahi atau pulung keprabon, momen itu akan datang kelak usai terjadi goro-goro/huru-hara besar terjadi atas kehendak tuhan; huru-hara usai akan terbentuklah tatanan dunia baru berikut peran dan kedudukan Nusantara tertinggi di bumi selatan. Tatanan pemerintahan baru di Nusantara kelak itulah yang dipimpin oleh sang ratu adil.

2 komentar:

Heru Cahyono mengatakan...

Monggo dilanjut.....

paulus mengatakan...

sip aku bangga jadi orang kediri mas bro