Pamuksan Sri Aji Joyoboyo



Tulisan di gerbang masuk Pamuksan Sri Aji Joyoboyo, yang berbunyi “Mustika Pamenang, Petilasan Sang Prabu Sri Adji Djojobojo”. Dalam kisah Jawa, Jayabaya (dibaca: Joyoboyo) adalah titisan Dewa Wisnu, penguasa negara Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayah Joyoboyo bernama Gendrayana, yang adalah anak Yudayana, anak Parikesit, anak Abimanyu, anak Arjuna dari Pandawa.
Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara, yang darinya lahir Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya kemudian menurunkan raja-raja tanah Jawa, dari Kerajaan Majapahit sampai Mataram Islam. Sedangkan Dewi Pramesti menikah dengan Astradarma, Raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma, Raja Malawapati.

Tulisan pada gapura di gerbang masuk kedua yang juga berbunyi “Petilasan Sang Prabu Sri Adji Djojobojo”. Kata petilasan ini ‘dikoreksi’ oleh Juru Kunci situs ini, karena sebuah petilasan adalah tempat dimana seseorang pernah tinggal dan lalu pergi dari tempat itu ke tempat lain. Sedangkan situs itu dipercaya sebagai tempat ‘muksa’ (hilang lenyap bersama jasadnya) Joyoboyo, dan konon jiwa Sang Raja masih berada di tempat itu.

Sebuah tengara yang menceritakan sejarah singkat Pamuksan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo. Beginilah seharusnya yang dilakukan oleh dinas terkait setempat pada situs-situs lainnya, yang membuat pengunjung bisa lebih mengenal situs yang mereka kunjungi.


Bangunan di tengah situs inilah yang dipercaya sebagai tempat Pamuksan Sri Aji Joyoboyo, yang terbagi tiga tempat yang mewakili tiga fase muksa Joyoboyo, yaitu Loka Mukso, Loka Busana, dan Loka Makuta. Loka Muksa merupakan tempat muksa atau hilangnya Joyoboyo bersama jasadnya, Loka Busana adalah tempat singgah busana Sang Prabu, dan Loka Makuta berarti tempat pelepasan mahkota raja.

Sebuah tengara di Pamuksan Sri Aji Joyoboyo yang menceritakan tentang pemugaran situs ini oleh Keluarga Besar Hondodento dari Yogyakarta pada 22 Februari 1975, dan diresmikan pada 17 April 1976. Sebelumnya situs ini hanya berbentuk sebuah gundukan tanah. Sampai suatu saat, di tahun 1860, seorang penduduk Desa Menang bernama Warsodikromo bermimpi bahwa di area gundukan tanah itu pernah hidup seorang raja Kediri yang bernama Joyoboyo.


Loka Busana di Pamuksan Sri Aji Joyoboyo dengan ornamen indah yang berada di sebelah kanan dari Loka Muksa, di dalam pagar dengan kawat berduri, mungkin untuk mencegah peziarah tidur di tempat itu atau mencongkel batu untuk dijadikan jimat.

Loka Muksa di latar belakang, dengan latar depan Loka Busana, yang dipagari beton segi empat berlubang. Di dalam bangunan Loka Muksa Pamuksan Sri Aji Joyoboyo ini terdapat lingga dan yoni yang menyatu dengan sebuah batu bulat berlubang yang menyerupai mata yang disebut manik.

Tiga buah lubang pintu di Loka Muksa Pamuksan Sri Aji Joyoboyo yang melambangkan tiga tahap kehidupan manusia yang dimulai dari lahir, dewasa, dan lalu mati. Di latar belakang adalah manik yang menyatu dengan lingga – yoni (kelamin pria – wanita, lambang kesuburan dan kehidupan lahir dan batin).

Batu manik Pamuksan Sri Aji Joyoboyo ini melambangkan kewaskitaan Sri Aji Joyoboyo, memadukan nalar, rasa dan jiwa, dengan lubang tembus yang menunjukkan kemampuan melihat jauh ke masa depan.

Loka Makuta yang terletak terpisah di belakang Pamuksan Sri Aji Joyoboyo, dengan bentuk mahkota raja di bagian tengahnya.

Sri Sultan Hamengku Buwono adalah Raja Jawa yang konon sering berkunjung ke situs leluhurnya ini untuk berziarah. Ketika datang, HB IX selalu berjalan jongkok dari pendopo menuju ke Loka Muksa, layaknya tengah menghadap seorang raja yang masih hidup.

Relief Kala tanpa rahang bawah pada atap bagian dalam pendopo Pamuksan Sri Aji Joyoboyo, yang menunjukkan pengaruh Hindu dari Jawa Tengah. Kala atau Banaspati dari Jawa Timur biasanya lengkap dengan rahang bagian bawah.

Bagian luar pendopo Pamuksan Sri Aji Joyoboyo yang juga dihias relief Kala (Dwarapala). Kala adalah dewa penguasa waktu, putera Dewa Siwa, yang umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci dan dipercaya sebagai penolak kekuatan jahat.

Sri Aji Joyoboyo adalah Raja Kediri yang memerintah antara 1135-1157. Ia konon berhasil menyatukan kembali Jenggala yang dipisahkan oleh Airlangga, Raja Kahuripan, pada 1042 saat Airlangga turun tahta dan menjadi pendeta dengan gelar Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana (Prasasti Gandhakuti, 1042).
Sri Aji Joyoboyo terkenal dengan kitab “Jongko Joyoboyo” yang berisi ramalan-ramalan kejadian di Pulau Jawa sejak jaman Aji Saka sampai sampai datangnya hari kiamat. Naskah yang didalamnya berisi “Ramalan Joyoboyo” diantaranya adalah Serat Jayabaya Musarar dan Serat Pranitiwakya. Jayabaya turun takhta pada usia tua dan dipercayai moksa di desa Menang, dimana Pamuksan Sri Aji Joyoboyo kini berada.

Pamuksan Sri Aji Joyoboyo

Desa Menang, Kecamatan Pagu
Kabupaten Kediri, Jawa Timur
GPS: -7.77948, 112.08003

0 komentar: